(Sejarah) inilah Rupa Tu-16 TNI AU, Pesawat Pengebom Paling Ditakuti Belanda!

(Sejarah) inilah Rupa Tu-16 TNI AU, Pesawat Pengebom Paling Ditakuti Belanda!


Keinginan Indonesia untuk memiliki pesawat pengebom strategis Tu-16 sebenarnya bukan karena kebutuhan untuk membebaskan Irian Barat.

Keinginan itu sejatinya sudah muncul sejak RI sibuk menghadapi pemberontakan Permesta yang berlangsung di Indonesia bagian timur.

Pasalnya mengirim pesawat pengebom jenis B-25 yang sudah dimiliki AURI ke kawasan konflik membutuhkan waktu cukup lama Demikian juga pengiriman dukungan logistik serta persiapan pangkalannya.

Bagi AURI merupakan kesulitan tersendiri untuk menumpas pemberontakan yang berada jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu kehadiran pesawat pengebom yang mampu menjangkau seluruh wilayah RI sangat diperlukan.
(Sejarah) inilah Rupa Tu-16 TNI AU, Pesawat Pengebom Paling Ditakuti Belanda!
Kondisi itu ternyata menjadi perhatian tersendiri bagi perwira menengah AURI, Letkol. R.J. Salatun, yang pada tahun 1950-an dikenal gemar membaca dan punya akses berkomunikasi langsung dengan Presiden Soekarno.

Dari majalah asing yang pernah dibacanya, Salatun yang kemudian berpangkat Marsda dan jabatan terakhirnya adalah Kepala Dinas Penerangan AURI, pernah menemukan artikel tentang proyek pesawat bomber Rusia yang sedang digarap pada tahun 1957.

Berbekal artikel yang dibacanya, Salatun lalu menyampaikan artikel tersebut kepada KASAU Marsekal Suryadarma. Secara beranting informasi ini pun sampai kepada Presiden Soekarno yang kemudian tertarik untuk membelinya.

Singkat kata, Presiden Soekarno yang memang sedang memimpikan untuk memiliki kekuatan udara yang tangguh lalu memerintahkan untuk membentuk tim pembelian pesawat Tu-16.
Apalagi pada masa itu, AS sedang menerapkan embargo persenjataan sehingga RI mau tak mau harus berpaling ke Blok Timur, Rusia.

Tim pembelian Tu-16 di bawah pimpinan Jendral A.H Nasution bersama Salatun kemudian berangkat ke Uni Soviet ( 1960).

Ketika berangkat sebetulnya delegasi pembeli senjata itu belum yakin apakah Rusia bersedia menjual Tu-16 kepada Indonesia.

Tapi Rusia yang sedang mengincar negara-negara di kawasan Asia untuk dijadikan negara berideologi komunis rupanya memandang Indonesia sebagai negara yang potensial. Di antara persenjataan yang kemudian ditawarkan kepada delegasi Indonesia salah satunya ternyata Tu-16.

Tawaran yag sangat mengagetkan itu bagaikan rejeki nomplok sehingga delegasi Indonesia langsung menerimanya.

Pembelian Tu-16 yang dilaksanakan oleh Indonesia tentu saja langsung menggetarkan negara-negara
di kawasan Asia dan juga Blok Barat mengingat jumlahnya mencapai 24 unit.

Sebanyak 12 Tu-16 A merupakan pesawat pengebom sementara 12 Tu-16 KS lainnya merupakan pesawat bersenjata rudal antikapal perang.

Pembelian 24 Tu-16 ini langsung disusul program latihan bagi para awak Tu-16.


Mereka kemudian belajar menerbangkan Tu-16 di Kawasan Chekoslovakia dan Rusia.
Sejumlah siswa penerbangan yang dikirim ke Rusia antara lain Letda Udara Suwandi, Letda Udara Somarmo, Letda Udara Subroto, Letda Udara Sudarma, Letda Udara Polman Saragih, Letda Udara Rahmat S. dan lainnya.

Para siswa Tu-16 itu dikenal dengan angkatan Cakra I-III, dan Ciptoning I serta Ciptoning II.

Setelah lulus pendidikan terbang Tu-16, mereka dipercaya untuk menerbangkan langsung Tu-16 dari Rusia ke Indonesia dengan didampingi para penerbang Tu-16 Rusia. Mulai tahun 1961, ke-24 Tu-16 tiba secara bergiliran ke Indonesia. Pesawat Tu-16 pertama yang tiba di Indonesia mendarat di Lanud Kemayoran, Jakarta dan dipiloti oleh Komodor Udara Suroso Hurip.

Kehadiran Tu-16 yang kemudian berpangkalan di Laud Halim Perdanakusuma, Lanud Iswahyudi Madiun, dan Lanud Polonia Medan tak lepas dari pegamatan intelijen AS yag terus mengikuti pergerakan Tu-16 di Indonesia menggunakan pesawat intai U-2 Dragon Lady. Kehadiran Tu-16 di Indonesia secara kebetulan memang bersamaan dengan krisis Irian Barat yang makin memanas.

Sejumlah Tu-16 pun direncanakan untuk dikirim ke medan tempur Irian Barat dengan target favorit menghantam kapal induk Belanda HNLMS Karel Doorman (R81).

Untuk menghantam Karel Doorman yang akan dilaksanakan oleh enam Tu-16, para pilotnya bahkan menggunakan pilot Rusia yang pada waktu itu masih diinapkan di kawasan Saragan, Madiun.

Demi realisasi menenggelamkan kapal induk Karel Doorman, enam Tu-16 yang semula berada di Madiun dan Lanud Juanda, Surabaya, lalu di tempatkan di Lanud Morotai.
Sebagai pesawat pengebom antikapal perang Tu-16/KS dilengkapi dua peluru kendali KS-1 Kometa yang bisa menghantam sasaran dari jarak 90 km.

Namun, rencana untuk menghancurkan Karel Doorman ternyata gagal karena keburu tercapainya penyelesaian secara damai soal Irian Barat antara Indonesia-Belanda.

Padahal penggunaan Tu-16 dalam konflik Irian Barat sebenarnya sudah dirancang secara matang karena semua Tu-16 akan digunakan dalam Operasi Djajawidjaja yang akan digelar pada 12 Agustus 1962.

Armada Tu-16 AURI pada saat itu telah ditempatkan di bagian penyerang.

Kombinasi kekuatan tempurnya terdiri 20 Tu-16, enam pesawat pengebom taktis Il-28, enam pesawat Mustang P-51, dan enam pesawat B-25 serta B-26.

Sebagai pesawat pengebom strategis, Tu-16 yang sejak awal dijagokan untuk menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda dalam Operasi Djajawijaja justru berperan sebagai pesawat pelindung (air cover).

Operasi Djajawijaja yang dilindungi oleh payung udara dan terdiri dari puluhan Tu-16 melibatkan sebanyak 120 kapal perang, 15.000 aggota marinir (KKO), dan 30.000 prajurit Infanteri Angkatan Darat.

Seluruh pasukan yang dikerahkan sudah dimobilisasi sejak bulan Juli 1962 dan kemudian menuju titik kumpul di Teluk Peleng,yang berada di Kawasan Banggai yang hanya berjarak 900 mil (1.448 km) dari Kota Biak.

Selama berada di kawasan strategis itu, semua pasukan yang berkumpul dilindungi oleh pesawat-pesawat tempur AURI seperti MIG-17, AS-4 Gannet, dan pesawat pengebom paling ditakuti musuh, Tu-16/Tu-16 KS.

Sesuai rencananya pesawat Tu-16 memang akan menjadi kekuatan utama yang berperan untuk menghancurkan kekuatan militer Belanda di Irian Barat secara total.

Pada hari H yang telah ditentukan yakni pada 12 Agustus 1962, kota Biak akan direbut melalui serangan dari udara oleh pasukan parakomando AURI.

Setelah itu disusul oleh serangan dan pendaratan operasi amfibi dengan perlengkapan militer yang diyakini bisa segera menghabisi seluruh kekuatan musuh.

Jika dalam fase itu Tu-16 mulai menjatuhkan bom-bom mautnya, kekuatan darat Belanda di Irian Barat pasti kocar-kacir.

Target penguasaan Irian Barat sebelum perayaan HUT RI pada 17 Agustus bisa dimungkinkan tercapai.

Namun, Belanda yang sejak awal tidak mau menjadi korban amukan Tu-16 AURI akhirnya memilih berunding secara damai. (Intisarionline)

Berkomentarlah Dengan Bijak
EmoticonEmoticon