Tugu Perang Dunia II dan Jejak Pasukan Sekutu di Manado

Tugu Perang Dunia II dan Jejak Pasukan Sekutu di Manado


TUGU Perang Dunia II berdiri kokoh di Manado, Sulawesi Utara. Tugu tersebut dimaknai sebagai simbol penyerahan arwah korban perang kepada Tuhan.

Tugu Perang Dunia II yang didirikan tahun 1946-1947 menyimpan sejarah penting bagi Kota Manado, Sulawesi Utara. Tugu itu kini masih berdiri kokoh. Lokasinya di pusat kota, tepatnya di Jalan Sarapung Lingkungan 2, Kelurahan Lawangirung, Kecamatan Wenang, Kota Manado bersebelahan dengan Gereja GMIM Sentrum, Manado.

Jika Anda berkunjung ke sana, di depan tugu tertulis sinopsis: 'Monumen ini dibangun sebagai suatu kenangan terhadap korban perang Pasifik, baik dari pihak Sekutu, Jepang, dan rakyat semasa Perang Dunia II berlangsung 1941-1945'.

Tugu ini tidak sempat diresmikan sehingga tidak ada prasasti penamaannya. Tinggi monumen ini 40 meter terdiri dari empat tiang penyangga dengan sebuah kubus persegi empat yang disimbolkan sebagai peti jenazah atau berisi abu jenazah korban perang dan dilengkapi dengan empat bola/roda peti jenazah.

Tugu ini dimaknai sebagai simbol penyerahan arwah korban perang kepada Tuhan Yang Maha Kuasa pada kotak berbentuk kubus di puncak monumen. Empat bola roda kotak kubus di atas, disimbolkan sebagai pemisah antara makhluk mulia manusia yang mengusung dan yang diusung.
Tugu Perang Dunia II dan Jejak Pasukan Sekutu di Manado
Dalam catatan penelitian Dwight Mooddy Rondonuwu, seorang staf pengajar Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi Manado, dijelaskan terkait abstrak bangunan kuno Tugu Perang Dunia II yang berdiri kokoh itu. Tugunya dirancang oleh Ir Cj Uit Den Bosch, seorang arsitek. Tugu dibangun tahun 1946-an. Secara visual bangunan kuno Tugu Perang Dunia II ini memperlihatkan tampilan arsitektur yang bergaya kolonial. Tugu tersebut merupakan karya yang sangat langka, tidak dimiliki oleh daerah lain.

Sedangkan dari sisi kesejarahan, lokasi peristiwa bersejarah yang penting. Dari sisi estetika, memiliki keindahan bentuk struktur dan ornamen yang unik.

"Perkembangan keberadaan bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya, dan peradaban masyarakat, memberikan peluang bagi generasi penerus untuk menyentuh dan menghayati perjuangan nenek moyangnya," tulisnya.

Apalagi dalam sejarahnya, seperti dikutip dari berbagai sumber, peristiwa Perang Dunia II yang diawali dengan kedatangan Jepang dan Sekutu pada tanggal 11 Januari 1942 di Manado, merupakan awal kehancuran Manado. Bukan membawa keuntungan, Jepang dan Sekutu justru membawa kerugian bagi Kota Manado maupun rakyat Manado.

Pada akhir Februari 1942, Angkatan Laut Jepang sudah bisa menguasai sebagian wilayah Indonesia Timur ini. Melihat kesuksesan yang diraih Jepang, membuat pasukan Sekutu menjadi iri. Sehingga, pada Agustus 1944 sampai Agustus 1945, pasukan tentara Sekutu melakukan perlawanan balik terhadap tentara Jepang dengan membom setiap daerah yang telah dikuasai oleh tentara Jepang.

Banyak nyawa melayang dari kedua pihak maupun rakyat Manado sendiri. Karena itu, untuk mengenang dan menghargai para korban Perang Dunia II, pada tahun 1946 dibangunlah monumen atau tugu ini di tengah-tengah puing dan kehancuran Manado.

Sekutu memilih mengutus Ir Cj Uit Den Bosch, seorang arsitek, untuk merancang dan membangun Tugu Perang Dunia II. Selain itu, Sekutu menyumbangkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses pembangunan Tugu Perang Dunia II yaitu bahan-bahan relief berupa pakaian dan obat-obatan serta 300 sak semen impor.

Lokasi yang dipilih ialah halaman Gereja Sentrum yang menurut kadaster adalah milik negara. Namun sangat disayangkan pembangunan Tugu Perang Dunia II tidak dapat diselesaikan.

Saat ini, tugu tersebut masih menjadi magnet kunjungan wisatawan yang datang ke Manado. Selain karena lokasinya di pusat kota, juga mudah dijangkau untuk para wisatawan.
(zik)

Berkomentarlah Dengan Bijak
EmoticonEmoticon