Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI 'tak akan ubah sejarah'

Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI 'tak akan ubah sejarah'


Belasan anggota organisasi pelajar Muslim membakar sekretariat organisasi pelajar underbow PKI.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengatakan tidak akan mengubah kebijakan dan pandangan mereka terhadap Gerakan 30 September 1965 (G30S), meskipun 39 dokumen rahasia Amerika Serikat yang dibuka ke publik 'mengungkap sejumlah fakta baru'.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Wuryanto, menyebut dokumen rahasia yang dibuka Badan Administrasi Rekaman dan Arsip Nasional AS (NARA) tidak dapat menggantikan seluruh fakta dalam Mahkamah Militer Luar Biasa selama rentang 1966 hingga 1978.

"Kami akan tetap berpedoman pada hasil Mahkamah Militer Luar Biasa dan saksi-saksi sejarah saat itu," ujar Wuryanto kepada BBC Indonesia, Selasa (17/10).
Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI 'tak akan ubah sejarah'
Selama 12 tahun sejak G30S, pemerintah menggelar setidaknya 24 mahkamah militer sebagai peradilan terhadap para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding berada di balik rencana kudeta dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat.

Para terdakwa dalam peradilan itu antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dani, Soebandrio, Kamaruzzaman, dan Letkol Untung. Seluruh terdakwa kasus G30S itu divonis bersalah.


Wuryanto juga membantah TNI pada 1965 menyuplai logistik kepada ormas Islam atau kelompok paramiliter sebagai dukungan terhadap pembunuhan massal kader atau orang yang diduga bagian dari PKI.

Dalam telegram tanggal 26 November 1965, dari staf Kedutaan Besar di Surabaya kepada Kementerian Luar Negeri AS, tercatat bahwa 'Hansip atau petugas keamanan sipil di Kediri dipersenjatai untuk menghadapi tertuduh komunis'.

"Itu tindakan spontan masyarakat. Kalau TNI membiayai, biayanya dari mana? Saat itu semuanya dalam keadaan susah," kata Wuryanto.

Sukar, 83 tahun, menunjukkan kuburan korban pembunuhan massal di Plumbon, Semarang, yang berkaitan dengan Peristiwa 1965.

Salah satu fakta yang terungkap dari 39 dokumen rahasia AS yang dipublikasikan pekan ini adalah kemungkinan pemberian bantuan untuk TNI dalam konfrontasi dengan PKI.

Penasehat Politik Pusat Komando Angkatan Laut AS untuk Kawasan Pasifik (CINPAC), Norman Hannah, pada 23 Oktober 1965 bersurat kepada Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green.
Dalam surat itu, Hannah mengutip ulang pernyataan Green bahwa otoritas tentara Indonesia akan berkomunikasi dengan AS jika benar-benar membutuhkan bantuan menghadapi PKI.

Hanna mengatakan, "Saya menduga bantuan itu mungkin berupa operasi tersembunyi dan bantuan yang bersifat langsung seperti transportasi, uang, peralatan komunikasi atau persenjataan."

Anggota Banser, organisasi di bawah Nahdlatul Ulama, membakar bendera bergambar palu arit di Blitar, Jawa Timur, September 2015. Banser disebut sebagai kelompok 'yang turut mengeksekusi kelompok komunis'.

Sementara itu, Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut setiap pihak sepatutnya tidak berkilah dari fakta sejarah baru di seputar Peristiwa 1965.

Muhammadiyah, satu dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia selain Nahdlatul Ulama, turut disebut dalam satu dokumen rahasia AS.

"Fakta itu jadi pembelajaran, jadi tidak perlu ditutupi apalagi ada penyangkalan. Itu tidak perlu. Selama dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, tidak masalah," ujar Danhil.

Dalam telegram dari konsuler AS di Medan ke Kedutaan Besar AS di Jakarta, tanggal 6 Desember 1965, Muhammadiyah disebut 'menginstruksikan kader mereka membunuh orang yang berhubungan dengan PKI'.

"Anggota PKI dikategorikan sebagai kafir, membunuh mereka disamakan seperti menyembelih ayam," demikian isi surat tersebut.

Dahnil mengaku tidak mengetahui persis instruksi yang pernah dikeluarkan Muhammadiyah terkait eksekusi kelompok komunis. Bagaimanapun, kata dia, suasana usai Peristiwa 1965 memang mencekam.

Presiden kedua Indonesia, Soeharto, beberapa kali disebut dalam dokumen rahasia AS terkait Peristiwa 1965.

Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) atas Peristiwa 1965, menilai pengungkapan 39 dokumen rahasia AS itu sebagai 'momentum pemerintah memperbarui sejarah'.

Menurut Nursyahbani, selama ini pemerintah 'selalu menutup mata' terhadap pelbagai catatan Peristiwa 1965, baik dari sudut pandang korban maupun peneliti dan para pemantau dari luar negeri.

"State denial kuat sekali, seolah tidak mau mendengarkan suara korban, terutama hasil penelitian. Pemerintah sama sekali tidak mau melihatnya," ujarnya.

Lebih dari itu, Nursyahbani pesimistis penyelesaian dan rekonsiliasi Peristiwa 1965 dapat bergulir dalam waktu dekat. Ia merujuk pendapatnya pada penyerangan sejumlah ormas terhadap kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, akhir September lalu.


Penyerangan itu didasarkan pada tudingan LBH menyelenggarakan seminar komunisme.


"Kejadian itu langkah mundur karena pemerintah membiarkan terjadinya amuk massa. Jokowi sendiri mengatakan, jika PKI bangkit, digebuk saja. Kata-kata itu persis ditirukan para demonstran di LBH," tuturnya.

Bradley Simpson, Direktur Studi Indonesia dan Timor Leste di Universitas Connecticut, berencana menyerahkan kompilasi 39 dokumen rahasia yang diungkap ke publik tersebut kepada Arsip Nasional Indonesia dan Perpusatakaan Nasional.

Bradley berkata, pemerintah Indonesia sepatutnya menjadikan kompilasi dokumen itu sebagai bahan penting menyelesaikan Peristiwa 1965 yang menurutnya terus berlarut.

"Saya berharap dokumen ini dapat mendorong masyarakat sipil di Indonesia menuntut pemerintah menerima fakta baru terkait peristiwa itu," ujarnya kepada BBC Indonesia.

Sebelum NARA membuka puluhan dokumen rahasia terkait Peristiwa 1965, pada tahun 2015 Badan Intelijen Pusat AS (CIA), lebih dulu mempublikasikan laporan agen mereka dari Jakarta tentang perihal yang sama.

Laporan yang dibuka badan telik sandi itu berisi data dan prediksi kejadian yang kemungkinan besar terjadi usai G30S.

Di era reformasi, sejumlah penelitian berupa buku maupun film dokumenter muncul sebagai antitesis fakta sejarah Peristiwa 1965 versi pemerintah. Sebagian besar karya tersebut dilarang terbit atau dipersekusi saat ditampilkan ke publik.

Acara nonton bareng film berjudul Jagal dan Senyap milik sutradara asal Denmark, Joshua Oppenheimer, beberapa kali dibubarkan paksa oleh ormas tertentu.

Adapun, Kejaksaan Agung sempat melarang peredaran buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa. Buku tersebut berisi fakta G30S yang didasarkan pada dokumen negara-negara Barat.

Rizieq Shihab dan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri menjadi pembicara pada simposium 'anti-PKI'.
April 2016, Simposium Nasional yang digagas perorangan, antara lain Agus Widjojo dan Sidarto Danusubroto, mempertemukan anak-cucu dari pihak pahlawan revolusi dan petinggi maupun kader PKI.

Kedua pihak sepakat menyelesaikan persoalan 1965 dengan saling memaafkan.
Sebulan setelahnya, kelompok ormas tertentu dan sejumlah purnawirawan jenderal lantas membentuk simposium tandingan. Mereka berkeras PKI merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas Peristiwa 1965.

Sementara itu, Menko Polhukam Wiranto saat ini masih mewacanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional sebagai wadah penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Berkomentarlah Dengan Bijak
EmoticonEmoticon