Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco

Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco


Perang Sipil Spanyol adalah pertarungan klasik antara sayap kiri Republikan dan Nasionalis sayap kanan. - tirto.id - Selain identik dengan klub sepakbola yang mendominasi kancah dunia atau pembalap motor yang mempunyai kemampuan mumpuni, Spanyol adalah sejarah revolusi, agitasi sayap kiri, pemberontakan, dan kediktatoran fasis. Spanyol hari ini lahir dari Perang Sipil yang terjadi pada dekade 1930an.

Sebelum Perang Sipil meletus, pemberontakan terhadap kepada para tuan tanah atau biasa dikenal latifundia, meletus pada abad 19. Para tuan tanah berkuasa atas tanahnya, berdasarkan sistem feodal yang mana menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat kelas bawah. Puncaknya ialah saat dua pimpinan hierarki Spanyol, Ratu Isabella II dari Dinasti Bourbon dan Raja Amadeo I dari Dinasti Savoy terpaksa lengser karena desakan. Elemen-elemen yang bersitegang sempat mengalami rekonsiliasi pada akhir 1847, namun kembali bertikai pada 1909 akibat kemiskinan akut dan aksi-aksi militer yang menyasar semua golongan.
Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco
Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco


Gejolak mulai muncul lagi pasca Perang Dunia Pertama. Kelas pekerja dan industri, dibantu oleh golongan militer, berupaya membersihkan pemerintahan yang korup meski pada akhirnya tidak berhasil. Tak lama berselang, kudeta militer sukses dilancarkan yang membawa Miguel Primo de Rivera berkuasa pada tahun 1923. Konsekuensinya pun jelas; negara diselimuti kediktatoran militer. Peristiwa tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Republik Kedua yang kelak berkuasa hingga puncak Perang Sipil.

Dalam bukunya yang bertajuk The Battle for Spain: The Spanish Civil War 1936-1939, Antony Beevor menjelaskan Perang Sipil Spanyol berlangsung dari tahun 1936-1939. Perang ini merupakan pertempuran antara kaum Republik yang setia kepada pemerintahan kedua, pandangan demokratis dan berbasis urban, dengan kaum Nasionalis yang dibantu golongan Falangist, Carlist, sampai aristokrat konservatif di bawah panji Jenderal Fransisco Franco.

Perang Sipil Spanyol merupakan puncak polarisasi politik yang telah berkembang selama beberapa dekade sebelumnya, terutama yang melibatkan dua kutub utama; Nasionalis dan Republik. Kelompok Nasionalis terdiri atas orang-orang Katolik Roma, militer, pemilik tanah, sampai pebisnis. Di lain sisi, Republik terdiri dari pekerja, buruh tani, serta kelas menengah terdidik.

Api mulai berkobar tatkala deklarasi dikumandangkan oleh sekelompok perwira militer angkatan bersenjata yang semula tunduk pada José Sanjurjo guna melawan pemerintahan Republik Kedua di bawah komando Presiden Manuel Azaña. Sanjurjo sendiri tewas beberapa saat setelahnya akibat kecelakaan udara dan Franco muncul sebagai pimpinan kaum Nasionalis.

Seperti yang diungkapkan Hugh Thomas dalam The Spanish Civil War (1961), kudeta itu didukung oleh sebuah unit militer di Maroko, Pamplona, Burgos, Zaragoza, Cádiz, Córdoba, dan Sevilla. Namun, itu saja tak cukup mengingat kota-kota penting seperti Madrid, Barcelona, Valencia, Bilbao, dan juga Malaga masih berada di bawah kendali pemerintah.

Akibatnya Spanyol menjadi tanah perebutan antara Nasionalis dan Republik. Demi memuluskan tujuan masing-masing, pasukan Nasionalis mendapatkan bantuan dari Jerman serta Italia. Sedangkan pihak Republik memperoleh dukungan dari Uni Soviet, Meksiko, serta Brigade Lincoln dari Amerika Serikat.

Di tahun 1937, kelompok Nasionalis mulai mendapati kemenangan. Mereka perlahan menduduki wilayah garis pantai utara sampai tiba masanya ketika mereka mengepung Madrid dan Catalonia, dua tahun setelahnya. Perang Sipil usai dengan kemenangan kelompok Nasionalis pimpinan Franco.

Konsekuensinya, ribuan orang Spanyol yang dianggap pendukung Republik diasingkan.

Jumlah korban yang berjatuhan dalam Perang Sipil tidak dapat dipastikan secara akurat. Namun banyak yang menyebutkan korban gugur di kisaran 500.000 sampai 1.000.000 orang. Tidak hanya mereka yang tewas dalam pertempuran tetapi juga mereka yang gugur dalam pemboman, eksekusi, dan pembunuhan serta kekurangan gizi, penyakit, dan kelaparan.

Paul Preston lewat bukunya The Spanish War: Reaction, Revolution and Revenge (2006) menerangkan meski Perang Sipil sering digambarkan sebagai usaha penahbisan antara demokrasi dan fasisme, namun sejarawan lebih menganggapnya sebagai pertarungan antara revolusi sayap kiri dan revolusi sayap kanan. Pada akhirnya, jalan perang dimenangkan kaum Nasionalis dan Franco memegang kendali pemerintahan selama 36 tahun ke depan.
Naiknya Rezim Franco dan Tumbuhnya Kediktatoran
Kemenangan kelompok Nasionalis membawa Franco ke singgasana. Dengan semangat nasionalismenya yang kuat, Franco mulai membenahi tata negara dan pemerintahan

Dalam Fear and Progress: Ordinary Lives in Franco’s Spain, 1939-1975, Antonio Cazorla Sánchez menyatakan bahwa cara Franco ‘menasionaliskan’ masyarakat Spanyol justru menghancurkan keragaman budaya setempat. Franco mengenalkan tradisi banteng dan flamenco sebagai tradisi nasional. Sementara itu tradisi yang dianggap tidak mencerminkan Spanyol diberangus. Franco mengontrol semua macam budaya dan kesenian dengan bentuk penyensoran, yang seringkali kelewatan.

Ideologi nasionalisme versi Franco bertumpu pada otoritarianisme, ajaran Katolik sayap kanan, militerisme, konservatisme, anti-komunisme, anti-liberalisme, sampai penolakan terhadap Freemason. Stanley Payne dalam bukunya The Franco Regime, 1936-1975 (2011) mencatat bahwa selama Perang Sipil berlangsung, masyarakat dipaksa untuk jadi nasionalis. Franco mencurigai oposisi politik dan menekankan bahwa semua pihak harus menerima tanggungjawab dari rezim yang dipimpinnya. Hasilnya, semua aspek kehidupan berada pada cengkeraman Franco.

Dari segi pengelolaan pemerintahan, Franco menolak memberlakukan segala bentuk desentralisasi administratif maupun legislatif. Ia menghapuskan otonomi dari kamus pribadinya dan mempertahankan bentuk pemerintahan terpusat dengan struktur administratif di bawah kontrol Dinasti Bourbon, mirip dengan Perancis. Dampaknya, kesejahteraan daerah dan pusat timpang luar biasa. Madrid, Catalonia, dan Basque bernasib jauh lebih baik daripada Galicia ataupun Andalusia.

Penyeragaman budaya adalah konsekuensi kedua dari sentralisasi di bawah Franco. Walaupun Franco seorang Galician, namun ia tak takut mencabut undang-undang serta pengakuan terhadap bahasa Basque, Galicia, serta Catalan sebagai bahasa nasional yang di masa lampau disahkan oleh pihak Republik. Penggunaan bahasa Spanyol diwajibkan. Semua dokumen pemerintahan, hukum, sampai kontrak-kontrak dagang mesti disusun dalam bahasa Spanyol. Penyelenggaraan pendidikan, periklanan, maupun upacara keagamaan juga wajib memakai bahasa Spanyol.

Infografik perang sipil spanyol dan diktator franco
Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco

Kebebasan berpendapat, berekspresi, serta berserikat jadi kemewahan luar biasa di bawah rezim Franco. Dalam Fascism in Spain, 1923-1977 (1999), Stanley Payne mengemukakan bahwa Franco melarang adanya serikat pekerja non-pemerintah maupun spektrum politik di luar nasionalisme yang dipromosikan pemerintah. Pembangkangan dibalas dengan represi. Sebagian kota dan desa diisi dengan patrol aparat yang berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat. Di kota-kota besar, situasinya tak jauh berbeda dengan hadirnya polisi yang dipersenjatai.

Orang-orang komunis, liberal, demokrat, hingga separatis yang kerap memperjuangkan wilayah Catalan dan Basque dibubarkan dan dilibas. Serikat pekerja Confederación Nacional del Trabajo (CNT) dan Unión General de Trabajadores (UGT) dilarang, dan diganti oleh korporat Sindicato Vertical pada 1940. Partai Pekerja Sosialis Spanyol dan Esquerra Republicana de Catalunya diberhentikan. Di lain sisi, Partai Komunis Spanyol terpaksa bergerak di bawah tanah. Pihak-pihak yang melontarkan kritik, terlebih mahasiswa, dibungkam. Tak lupa, Franco juga mengganyang Partai Nasionalis Basque serta berusaha melenyapkan gerakan kemerdekaan Basque.

Selama empat dekade, Spanyol hidup di bawah rezim diktator Franco. Walaupun rezimnya sudah berakhir, bau amis warisan yang ditinggalkan Franco kekal. Bahkan kamus Oxford memuat lema “Francoist” untuk mengacu kepada diktator Franco beserta kebijakan-kebijakannya.

Durasi pemerintahan Franco yang panjang berpijak di atas darah oposisi dan propaganda yang efektif hingga ke seluruh dunia. Dalam Franco and the Spanish Civil War (2001), Filipe Ribeiro De Meneses menyatakan bahwa Franco sukses memenangkan hati khalayak karena mampu memenangkan Perang Sipil. Narasi “menyelamatkan negara dari ancaman komunis” jadi nilai jual Franco. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pernah berujar bahwa Franco adalah utusan Tuhan untuk menyelamatkan Spanyol dari kekacauan dan kemiskinan.

Sebuah ujaran yang mirip saat Soeharto dianggap pahlawan rakyat.

Baca juga artikel terkait DIKTATOR atau tulisan menarik lainnya M Faisal Reza Irfan
(tirto.id - Politik)

Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf

Berkomentarlah Dengan Bijak
EmoticonEmoticon